“Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap dipuja-puja bangsa
Disana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata
Sungguh indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bangsa yang memujanya
Indonesia ibu pertiwi
Kau ku jaga, kau ku kasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela ku beri”
Masih ingatkah kalian dengan lagu diatas? Yup, lagu diatas adalah lagu Indonesia Pusaka. Lagu yang dikarang oleh Ismail Marzuki ini merupakan salah satu dari lagu nasional.
Lagu-lagu nasional pada saat ini sudah sangat jarang kita dengar atau
kita nyanyikan. Bahkan, diantara kita pastinya sudah banyak yang lupa
akan keberadaannya. Lagu nasional yang paling melekat di ingatan kita
tentunya lagu Indonesia raya
yang paling tidak, dinyanyikan sekali dalam setahun. Namun, masih
hangat juga di ingatan kita tentunya beberapa waktu lalu, salah seorang
menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang lupa lirik lagu
Indonesia Raya, padahal lagu Indonesia Raya merupakan lagu wajib hampir
diseluruh acara resmi terutama acara kenegaraan. Pada kalangan pelajar,
masih ada juga yang lupa lirik lagu Indonesia Raya padahal setiap
Upacara Bendera di hari Senin, lagu ini merupakan lagu wajib yang
dinyanyikan.
Mengapa saya memilih lagu Indonesia Pusaka sebagai lagu nasional
untuk pembukaan di atas? Pertama, karena lagu tersebut adalah lagu
nasional terfavorit saya. Kedua, lirik lagu ini memberitahukan bahwa
sejauh apapun kita berada, tapi negeri
ini tetap menjadi tempat “pulang” kita, saya menangkap adanya kecintaan
yang sangat besar terhadap negeri ini dalam liriknya. Ketiga, karena
ada insiden beberapa waktu lalu terkait dengan lagu tersebut. Insiden
itu terjadi saat saya sedang menghapal bait ketiga dan keempat lagu ini
karena saya baru tahu ternyata ada lanjutannya. Saat itu, mungkin karena
saya menyetel lagu ini terlalu keras, salah seorang dari teman saya
terganggu sehingga terlontarlah kata-kata ini, “Ngapain dihapal,
emangnya bakal keluar di UTS (ujian tengah semester).” Saya sangat terkejut mendengar hal itu, dan naik pitam, untunglah ada teman lain yang menenangkan saya.
Sangat disayangkan kata-kata itu terlontar dari mulut seorang warga
negara Indonesia sendiri, seorang berdarah pribumi, bukan seorang yang
berdarah asing. Ia lahir, tumbuh, bersekolah, bekerja, bahkan mungkin
nanti akan “menutup mata” di negeri ini. Penting atau tak penting
hapalnya sebuah lagu nasional mungkin kembali lagi kepada diri sendiri.
Tapi, bukankah lucu bila suatu saat nanti kita yang menganggap lagu
nasional ini tak penting, berkoar-koar ketika lagu nasional kita
diotak-atik sedikit liriknya lalu dijadikan sebagai salah satu lagu
nasional atau diklaim oleh negara lain untuk kepentingan-kepentingan
tertentu. Padahal bila diminta untuk menyanyikannya belum tentu kita
hapal. Tentu anda masih ingat saat lagu tradisional “Rasa Sayange” yang
diklaim oleh Negara Malaysia
sebagai salah satu kebudayaan mereka yang digunakan untuk promosi
pariwisata. Sebelum ada kasus tersebut, apakah orang-orang sudah
berpikir bahwa itu penting? Haruskah kita menunggu ada pengklaiman dulu
baru kita sadar bahwa apa yang ada di kita itu penting? Apa sebenarnya
yang menyebabkan kurangnya apresiasi kita terhadap lagu-lagu nasional
ini?
Penyanyi-penyanyi di Indonesia sudah banyak menghasilkan lagu yang
biasa kita dengar. Apabila kita sudah menyukai seorang Penyanyi atau
Grup Band tentu kita akan menyukai lagunya, kita akan menyanyikannya,
mendengarkannya sepanjang waktu (biasanya terjadi saat lagu tersebut
sedang hits). Saat mendengar lagu itu, kita akan
mendendangkannya dalam hati apabila tidak bisa menyanyikannya secara
keras. Apakah lagu nasional juga tidak bisa mendapatkan tempat seperti
itu di hati kita? Yang apabila ia muncul di Televisi atau Radio kita
akan ikut menyanyikannya juga, paling tidak menikmatinya sampai habis?
Bukannya malah mengganti ke program atau channel lain.
Apabila lagu nasional kita bisa bicara, tentu ia akan menyindir kita seperti ini, “Katanya orang Indonesia, tapi sama saya aja lupa.”