Kebanyakan dari kita tentu mengetahui, atau setidaknya pernah mendengar, tentang seni Ludruk. Kesenian yang memiliki format pertunjukan sandiwara ini berasal dari Jawa Timur. Dan pastinya kita pun langsung berasumsi bahwa seni ludruk adalah sebuah pertunjukan hiburan yang humoris belaka. Hal ini dapat dimaklumi mengingat memang demikianlah ‘image’ ludruk masa kini dalam perspektif kebanyakan masyarakat kita.
Namun jika ditelaah lebih jauh mengenai sejarah perkembangannya, ternyata seni ludruk pernah menjadi instrumen perlawanan rakyat jelata atau wong cilik terhadap kekuasaan baik semasa era feodalisme Jawa, kolonialisme Eropa maupun fasisme Jepang. Pada masa-masa itu, ludruk menjadi wadah pelampiasan kekesalan dan kemuakan rakyat terhadap penindasan kekuasaan, ketika rakyat merasa tidak mampu untuk mengadakan perlawanan secara frontal. Ludruk menjadi sebuah seni pertunjukan yang menentang arogansi kekuasaan kaum feodal dan kolonial secara sarkastik.
Ludruk
sejak lama tumbuh, berkembang dan dikenal oleh masyarakat di Jawa
Timur, terutama di daerah Surabaya, Jombang, Malang dan sekitarnya. Sebagai
kesenian asal Jawa Timur, keberadaan ludruk ditinggalkan penggemarnya
karena masuknya hiburan modern dan kurangnya upaya pelestarian dari
Pemerintah terkait. Dulu kesenian ludruk sangat melekat di hati
masyarakat. Sekarang jumlah penggemarnya menurun drastis. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah penonton ludruk pada saat pementasan umumnya sepi
pengunjung.
Dalam data Statistik Van Grisse Van 1822 dikatakan bahwa ludruk adalah
tari tarian yang dilengkapi dengan cerita lucu yang diperankan oleh
pelawak dan travesty atau lelaki yang merias diri sebagai wanita. Ludurk
mempunyai unsur tarian, cerita lucu, pelawak dan pemain yang terdiri
dari pria semua, meskipun yang diperankan ada peran wanitanya. Seiring berkembangnya ludruk, masuk juga pemain wanita. Dalam kamus Javanansch Nederduitssch Woordenboekv karya Gencke dan T Roorda (1847), ludruk artinya Grappermaker (badutan).
Mengenai asal usul kata ludruk terdapat beberapa pendapat. Cak Markaban, tokoh Ludruk Triprasetya RRI Surabaya mengatakan bahwa ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Jadi yang membawakan ludrukan itu, kepalanya menggeleng-geleng (gela-gelo) dan kakinya gedrak-gedruk (menghentak lantai) seperti penari Ngremo. Sedangkan menurut Cak Kibat, tokoh Ludruk Besutan bahwa ludruk itu berasal dari kata molo-molo lan gedrak-gedruk. Artinya seorang peludruk itu mulutnya bicara dengan kidungan dan kakinya menghentak lantai gedrak - gedruk.
Menurut
Dukut Imam Widodo pada bukunya Soerabaia Tempo Doeloe, ludruk berasal
dari bahasa Belanda. Pada masa itu banyak anak-anak Belanda muda yang
senang menonton. Mereka berkata kepada teman-temanya,“Mari kita leuk en druk.”
Artinya yang penting enjoy, happy sambil nonton pertunjukan yang
lucunya luar biasa ini, begitu kira-kira maksudnya. Kalau demikian
halnya, kesenian itu sudah ada sebelumnya, tetapi belum punya nama
“baku”. Lalu lahirlah ucapan bahasa Belanda “Leuk en Druk” itu. Lama
kelamaan, leuk en druk diadopsi menjadi bahasa sini ludruk.
Sejarah
perkembangan ludruk sebenarnya masih belum dapat dipastikan karena ada
beberapa pendapat. Tahun 1890 Gangsar, yang berasal dari desa Pandan,
kabupaten Jombang, yang pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam
bentuk ngamen (berkeliling dari rumah ke rumah) dan tarian. Bentuk
inilah yang menjadi cikal bakal kesenian ludruk.