Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan kebudayaannya. Bagaimana
tidak? Kurang lebih 742 bahasa daerah, 33 pakaian adat dan ratusan
tarian adat tercatat dari Sabang sampai Merauke. Sudah selayaknya kita
sebut “miniatur dunia”.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa kebudayaan Indonesia konon berasal
dari Peradaban Lemuria, peradaban yang besar setelah tenggelamnya
peradaban yang juga kita kenal, Peradaban Atlantis. Konon Peradaban
Lemuria itu bertempat lembah yang sekarang tenggelam di laut jawa.
Peradaban Lemuria itu tenggelam ketika permukaan laut naik hampir 400 m
seiring mencairnya es di kutub akibat perubahan iklim global. Sejarah
ini, tidak begitu banyak dikenal oleh rakyat Indonesia mengingat pada
tahun 1800an, Belanda mengangkut buku-buku dari Jawa sebanyak 5 kapal.
Buku yang berisi tentang asal muasal kebudayaan Indonesia-pun hilang
bersama buku-buku yang lain. Bisa dipahami juga bangsa Indonesia seperti
bangsa yang kehilangan akar-nya.
Kebudayaan Indonesia yang begitu besarnya ini, sayangnya, tidak dijaga
dengan baik dan benar oleh Rakyat Indonesia khususnya pemerintah.
Berbagai macam kebudayaan dipatenkan oleh Negara tetangga. Satu contoh
yang akan kita bahas adalah Reog ponorogo yang telah dipatenkan oleh
Malaysia sebagai Tari Tradisional Malaysia dengan nama Tari Barongan.Itu
dilakukan dengan hanya mengubah Pakem-pakem reog kecuali
atribut-atributnya.
Mari kita bandingkan isi cerita dan sejarah Reog Ponorogo dengan Tari Barongan:
Menurut cerita kelahiran kesenian reog dimulai pada tahun saka 900.
Dilatarbelakangi kisah tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana, Raja
Kerajaan Bantarangin yang sedang mencari calon Permaisurinya. Bersama
prajurit berkuda, dan patihnya yang setia, Bujangganong. Akhirnya gadis
pujaan hatinya telah ditemukan, Dewi Sanggalangit, putri Kediri. Namun
sang putri menetapkan syarat agar sang prabu menciptakan sebuah kesenian
baru terlebih dahulu sebelum dia menerima cinta sang Raja. Maka dari
situlah terciptalah kesenian reog.
Bentuk reog pun sebenarnya merupakan sebuah sindiran yang maknanya bahwa
sang Raja (kepala harimau) sudah disetir atau sangat dipengaruhi oleh
permaisurinya (burung merak). Tulisan Reog sendiri asalnya dari Reyog,
yang huruf-hurufnya mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang
macapat Pocung yang berbunyi: rasa kidung/ingwang sukma adiluhung/Yang
Widhi/olah kridaning Gusti/gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa.
Penggantian Reyog menjadi Reog yang disebutkan untuk “kepentingan
pembangunan”- saat itu sempat menimbulkan polemik. Bupati Ponorogo
Markum Singodimejo yang mencetuskan nama reog (Resik, Endah, Omber,
Girang gemirang) tetap mempertahankannya sebagai slogan resmi Kabupaten
Ponorogo.
Barongan menggambarkan kisah-kisah di zaman Nabi Allah Sulaiman dengan
binatang-binatang yang boleh bercakap. Kononnya, seekor harimau telah
terlihat seekor burung merak yang sedang mengembangkan ekornya. Apabila
terpandang harimau, merak pun melompat di atas kepala harimau dan
keduanya terus menari. Tiba-tiba Pamong (Juru Iring) bernama Garong yang
mengiringi Puteri Raja yang sedang menunggang kuda lalu di kawasan itu.
Pamong lalu turun dari kudanya dan menari bersama-sama binatang tadi.
Tarian ini terus diamalkan dan boleh dilihat di daerah Batu Pahat, Johor
dan di negeri Selangor.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sejarah Tari Barongan itu
ada di Malaysia ? Ada sebuah makalah tahun 1994 di Universiti Kebangsaan
Malaysia yang judulnya “Perkembangan Seni Tari Barongan Sebagai Satu
Permainan Tradisional Orang-orang Jawa di Batu Pahat, Johor.”
Dilihat dari makalah tersebut dapat dipastikan bahwa pelaku seni Tari
Barongan di Malaysia adalah orang asli Jawa yang berdomisili di Johor.
Ironisnya, pelaku-pelaku seni dari Jawa itu pindah ke negeri Johor
karena mulai ditinggalkan pemirsanya di Jawa. Mereka menjadi warga
negara sana, mengembangkan kesenian a la reog di sana, mengubah
pakem-pakem reog kecuali atributnya dan memberinya dengan nama lain Tari
Barongan… dan disambut baik!
Salahkah mereka? Salahkah Tari Barongan muncul di Malaysia? Secara
pribadi : Tidak. Menurut saya, ini tidak bisa dikatakan sebagai
kesalahan dari Malaysia. Kalau kita coba menilik sejenak di Taman Mini
Jakarta, mari kita lihat, berapa banyak penonton pribumi asli yang
menonton Tari Reog Jawa Timur ini. Atau mungkin kita dapat bertanya
kepada kita sendiri, kapan sih terakhir kita nonton reog? Setahun lalu?
Sepuluh tahun lalu ? Tidak ada salahnya kita bertanya dalam hati, berapa
besar apresiasi kita terhadap kebudayaan di Indonesia.
Sudah menjadi rahasia umum, banyak pelaku seni, kaum terpelajar, kaum
cendekiawan yang berasal dari Indonesia berkarya dengan sangat hebatnya
di negeri tetangga. Tidak ada penghargaan di dalam negeri lah yang
memacu mereka berkarya di negeri tetangga. Ada contoh kasus Spy Plane
dari Malaysia
Cuma beberapa gelintir saja negara yang memiliki pesawat mata-mata
tanpa awak (UAV). Amerika dan Israel jelas yang paling aktif
memproduksi. Di Asia ada India, Pakistan, Jepang, Cina dan Korea yang
punya program khusus untuk bikin spy plane semacam itu, walau masih
bergantung pada perangkat-perangkat dari Israel. Indonesia akan membeli
spy plane dari Israel. Dan Malaysia akan membuat sendiri spy plane
tersebut.
Siapa otak di balik UAV bikinan Malaysia ini? Dr. Endri Rachman, seorang
mantan engineer di IPTN yang hijrah ke Malaysia dan menjadi pengajar
di Universiti Sains Malaysia. Dengan kata lain : orang Indonesia.
Salahkah? Ya kalau di IPTN cuma digaji Rp 500 – 900 ribu, sementara
pemerintah Malaysia mau mengucurkan 1 milyar untuk bikin prototipe UAV…
Kita bener-bener punya sejarah yang buruk tentang bagaimana
memperlakukan orang-orang pinter negeri ini. ( Watung Blog, 2 Desember
2007)
Mungkin sudah saatnya kita lebih menghargai kita sendiri. Mungkin
pepatah “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai diri nya
sendiri” harus kita amati benar-benar. Penyesalan hanya akan datang di
akhir episode, tapi harapan, jelas ada di setiap episode kehidupan.